Selasa, 06 Agustus 2013

MENGENAL MANHAJ SALAF YANG BENAR



Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik).” (Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30). Makna semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah yang artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56). Artinya adalah: Kami menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek moyang dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7).
Oleh sebab itu secara bahasa, semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat, dll. Adapun yang akan kita bicarakan sekarang bukanlah makna bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi kita semuanya dan tidak muncul komentar, “Lho kalau begitu JIL juga salafi dong..! Mereka kan juga punya pendahulu”. Maaf, Mas… bukan itu yang kami maksudkan…Kemudian apabila muncul pertanyaan “Kenapa harus disebutkan pengertian secara bahasa apabila ternyata pengertian istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya?”. Maka kami akan menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita mengetahui keterkaitan makna antara objek penamaan syari’at dan objek penamaan lughawi (menurut bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita bahwasanya istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng secara total dari sumber pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain. Oleh sebab itulah anda jumpai para fuqaha’ (ahli fikih atau ahli agama) rahimahumullah setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka pun menjelaskan bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian sedangkan secara terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan supaya tampak jelas bagimu adanya keterkaitan antara makna lughawi dengan makna ishthilahi.” (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).
Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama.  
Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah (lihat Al Wajiz, hal. 21).Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf berarti sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap dan cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah, “Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini pun merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati umat dan memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…” ( lihat Limadza, hal. 31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi kriteria yang benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan As Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak beragama sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).
Contoh-Contoh Penggunaan Kata “Salaf”. 
Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Rasyid bin Sa’ad berkata: Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menafsirkan kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan orang sesudah mereka.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (oleh Rasyid) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena Rasyid bin Sa’ad adalah seorang tabi’in (murid sahabat), sehingga orang yang disebut salaf olehnya adalah para sahabat tanpa ada keraguan padanya.” Demikian pula perkataan Imam Bukhari, “Az Zuhri mengatakan mengenai tulang bangkai semacam gajah dan selainnya: Aku menemui sebagian para ulama salaf yang bersisir dengannya (tulang) dan menggunakannya sebagai tempat minyak rambut. Mereka memandangnya tidaklah mengapa.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (dengan salaf di sini) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum, karena Az Zuhri adalah seorang tabi’in.” (lihat Limadza, hal. 31-32).Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. Di dalam mukaddimahnya Imam Muslim mengeluarkan hadits dari jalan Muhammad bin ‘Abdullah. Ia (Muhammad) mengatakan: Aku mendengar ‘Ali bin Syaqiq mengatakan: Aku mendengar Abdullah bin Al Mubarak mengatakan di hadapan orang banyak, “Tinggalkanlah hadits (yang dibawakan) ‘Amr bin Tsabit. Karena dia mencaci kaum salaf.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Limadza, hal. 32).Kata salaf juga sering dipakai oleh para ulama akidah di dalam kitab-kitab mereka. Seperti contohnya sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Al Ajurri di dalam kitabnya yang berjudul Asy Syari’ah bahwa Imam Auza’i pernah berpesan, “Bersabarlah engkau di atas Sunnah. Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah dirimu sebagaimana sikap mereka menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu yang shalih. Karena sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka cukup.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah sahabat ridhwanullahi ‘alaihim.” (lihat Limadza, hal. 32) Hal ini karena Al Auza’i adalah seorang tabi’in.
Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah. 
Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah penyandaran diri kepada kaum salaf. Sehingga bukanlah makna salafiyah sebagaimana yang disangka sebagian orang sebagai aliran pesantren yang menggunakan metode pengajaran yang kuno. Yang dengan persangkaan itu mereka anggap bahwa salafiyah bukan sebuah manhaj (metode beragama) akan tetapi sebagai sebuah sistem belajar mengajar yang belum mengalami modernisasi. Dan yang terbayang di pikiran mereka ketika mendengarnya adalah sosok para santri yang berpeci hitam dan memakai sarung kesana kemari dengan menenteng kitab-kitab kuning. Sebagaimana itulah kenyataan yang ada pada sebagian kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai pondok salafiyah, namun realitanya mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum salaf. Syaikh Salim mengatakan, “Adapun salafiyah adalah penisbatan diri kepada kaum salaf. Ini merupakan penisbatan terpuji yang disandarkan kepada manhaj yang lurus dan bukanlah menciptakan sebuah madzhab yang baru ada.” (lihat Limadza, hal. 33).Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dan tidaklah tercela bagi orang yang menampakkan diri sebagai pengikut madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya dan merasa mulia dengannya. Bahkan wajib menerima pengakuannya itu dengan dasar kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa, 4/149, lihat Limadza, hal. 33). Maka sungguh aneh apabila ada orang zaman sekarang ini yang menggambarkan kepada umat bahwasanya salafiyah adalah sebuah aliran baru yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang ‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada dengan berbagai aksi penghancuran dan pengkafiran yang membabi buta. Sehingga apabila mereka mendengar istilah salafiyah maka yang tergambar di benak mereka adalah kaum Wahabi yang suka mengacaukan ketentraman umat dengan berbagai aksi penyerangan dan tindakan-tindakan tidak sopan. Atau ada lagi yang menganggap bahwa salafiyah adalah gerakan reformasi dakwah yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan Inggris di Mesir. Padahal ini semua menunjukkan bahwa mereka itu sebenarnya tidak paham tentang sejarah munculnya istilah ini. Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan pernyataan semacam ini atau yang turut menyebarkannya adalah orang yang tidak mengerti sejarah kalimat ini menurut tinjauan makna, asal-usul dan perjalanan waktu yang hakikatnya tersambung dengan para salafush shalih. Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu untuk mensifati setiap orang yang mengikuti pemahaman sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam hal akidah dan manhaj sebagai seorang salafi (pengikut Salaf). Lihatlah ucapan seorang ahli sejarah Islam Al Hafizh Al Imam Adz Dzahabi di dalam kitabnya Siyar A’laamin Nubalaa’ (16/457) ketika membawakan ucapan Al Hafizh Ad Daruquthni, “Tidak ada yang lebih kubenci selain menekuni ilmu kalam/filsafat.” Maka Adz Dzahabi pun mengatakan (dengan nada memuji, red), “Orang ini (Ad Daruquthni) belum pernah terjun dalam ilmu kalam sama sekali begitu pula tidak menceburkan dirinya dalam dunia perdebatan (yang tercela) dan beliau juga tidak ikut meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan tetapi beliau adalah seorang salafi.” (Limadza, hal. 34-35). Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang disebut sebagai ‘salafi’ oleh Imam Adz Dzahabi di atas hidup pada tahun 306-385 H. Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada tahun 661-728 H. Adapun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada tahun 1115-1206 H. Nah, pembaca bisa menyaksikan sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu. Apakah Ibnu Taimiyah atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir sebelum Ad Daruquthni sehingga beliau layak untuk disebut sebagai pengikut mereka berdua. Apakah dengan penukilan semacam ini kita akan menafsirkan bahwa Imam Ad Daruquthni adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab?? Jawablah wahai kaum yang berakal… Anak kelas 5 SD pun (bukan bermaksud meremehkan, red) tahu kalau yang namanya pengikut itu adanya sesudah keberadaan yang diikuti, bukan sebaliknya. Wallaahul musta’aan
(dirangkum dari muslim.or.id)

Tidak ada komentar: