Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu,
baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar
bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang
mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu
dari sisi umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti
para sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik).” (Lisanul
‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30). Makna semacam ini
serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah yang artinya, “Maka
tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan
mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan
contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56). Artinya
adalah: Kami menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang
melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka
mau mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi
‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).Dengan demikian kita bisa serupakan
makna kata salaf ini dengan istilah nenek moyang dan leluhur dalam bahasa kita.
Dalam kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata
ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha.
Beliau bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik salafmu
adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik pendahulu.
(lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah,
hal. 7).
Oleh sebab itu secara bahasa, semua orang
terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal
maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari
kalangan sahabat, dll. Adapun yang akan kita bicarakan sekarang bukanlah makna
bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi kita semuanya
dan tidak muncul komentar, “Lho kalau begitu JIL juga salafi dong..! Mereka
kan juga
punya pendahulu”. Maaf, Mas… bukan itu yang kami maksudkan…Kemudian
apabila muncul pertanyaan “Kenapa harus disebutkan pengertian secara bahasa
apabila ternyata pengertian istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya?”.
Maka kami akan menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.
Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita mengetahui keterkaitan makna
antara objek penamaan syari’at dan objek penamaan lughawi (menurut
bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita bahwasanya istilah-istilah
syari’at tidaklah melenceng secara total dari sumber pemaknaan bahasanya.
Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain. Oleh sebab itulah anda jumpai
para fuqaha’ (ahli fikih atau ahli agama) rahimahumullah
setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka pun menjelaskan bahwa
pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian sedangkan secara
terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan supaya tampak jelas
bagimu adanya keterkaitan antara makna lughawi dengan makna ishthilahi.”
(lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).
Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama.
Apabila para ulama akidah membahas
dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang mereka maksud adalah salah satu di
antara 3 kemungkinan berikut:Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).Ketiga:
Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya
di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang
membasmi bid’ah (lihat Al Wajiz, hal. 21).Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah
menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf berarti sebuah karakter yang
melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap
dan cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal.
30).Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah
generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa
petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in
dan tabi’ut tabi’in, -red). Dan setiap orang yang meneladani dan
berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai
bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah
fil ‘Aqidah, hal. 5-6).Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul
Maqalah min Syarhir Risalah, “Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah
generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala telah
memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini pun merasa ridha kepada mereka. Mereka
telah berjihad di jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Mereka kerahkan daya
upaya mereka untuk menasihati umat dan memberikan kemanfaatan bagi mereka.
Mereka juga mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…” ( lihat Limadza,
hal. 31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik
orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in)
dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan
Muslim)Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian
pula setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut
sebagai orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan
istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf hanya
meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah
pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh
pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi kriteria yang benar adalah kesesuaian
akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan As Sunnah serta pemahaman
salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun orangnya asalkan dia
sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut
salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya
orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak beragama
sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang
itu sesuku atau bahkan saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
(lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33 dan Syarah
Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).
Contoh-Contoh Penggunaan Kata “Salaf”.
Kata
salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Imam Bukhari
rahimahullah mengatakan, “Rasyid bin Sa’ad berkata: Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih lincah
dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menafsirkan
kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan orang sesudah mereka.”
Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (oleh Rasyid) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum.
Karena Rasyid bin Sa’ad adalah seorang tabi’in (murid sahabat),
sehingga orang yang disebut salaf olehnya adalah para sahabat tanpa ada
keraguan padanya.” Demikian pula perkataan Imam Bukhari, “Az Zuhri mengatakan
mengenai tulang bangkai semacam gajah dan selainnya: Aku menemui sebagian para
ulama salaf yang bersisir dengannya (tulang) dan menggunakannya sebagai tempat
minyak rambut. Mereka memandangnya tidaklah mengapa.” Syaikh Salim mengatakan,
“Yang dimaksud (dengan salaf di sini) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum,
karena Az Zuhri adalah seorang tabi’in.” (lihat Limadza, hal.
31-32).Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. Di
dalam mukaddimahnya Imam Muslim mengeluarkan hadits dari jalan Muhammad bin
‘Abdullah. Ia (Muhammad) mengatakan: Aku mendengar ‘Ali bin Syaqiq mengatakan:
Aku mendengar Abdullah bin Al Mubarak mengatakan di hadapan orang banyak, “Tinggalkanlah
hadits (yang dibawakan) ‘Amr bin Tsabit. Karena dia mencaci kaum salaf.”
Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah para sahabat radhiyallahu
‘anhum.” (Limadza, hal. 32).Kata salaf juga sering dipakai oleh
para ulama akidah di dalam kitab-kitab mereka. Seperti contohnya sebuah riwayat
yang dibawakan oleh Imam Al Ajurri di dalam kitabnya yang berjudul Asy
Syari’ah bahwa Imam Auza’i pernah berpesan, “Bersabarlah engkau di atas
Sunnah. Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap. Katakanlah
sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah dirimu sebagaimana sikap mereka
menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu yang shalih. Karena
sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka cukup.” Syaikh Salim
mengatakan, “Yang dimaksud adalah sahabat ridhwanullahi ‘alaihim.”
(lihat Limadza, hal. 32) Hal ini karena Al Auza’i adalah seorang tabi’in.
Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah.
Sedangkan
yang dimaksud dengan salafiyah adalah penyandaran diri kepada
kaum salaf. Sehingga bukanlah makna salafiyah sebagaimana yang disangka
sebagian orang sebagai aliran pesantren yang menggunakan metode pengajaran yang
kuno. Yang dengan persangkaan itu mereka anggap bahwa salafiyah bukan sebuah
manhaj (metode beragama) akan tetapi sebagai sebuah sistem belajar mengajar
yang belum mengalami modernisasi. Dan yang terbayang di pikiran mereka ketika
mendengarnya adalah sosok para santri yang berpeci hitam dan memakai sarung kesana
kemari dengan menenteng kitab-kitab kuning. Sebagaimana itulah kenyataan yang
ada pada sebagian kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai pondok salafiyah,
namun realitanya mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum salaf. Syaikh Salim
mengatakan, “Adapun salafiyah adalah penisbatan diri kepada kaum salaf. Ini
merupakan penisbatan terpuji yang disandarkan kepada manhaj yang lurus dan
bukanlah menciptakan sebuah madzhab yang baru ada.” (lihat Limadza,
hal. 33).Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dan
tidaklah tercela bagi orang yang menampakkan diri sebagai pengikut madzhab
salaf, menyandarkan diri kepadanya dan merasa mulia dengannya. Bahkan wajib
menerima pengakuannya itu dengan dasar kesepakatan (para ulama). Karena
sesungguhnya madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’
Fatawa, 4/149, lihat Limadza, hal. 33). Maka sungguh aneh apabila
ada orang zaman sekarang ini yang menggambarkan kepada umat bahwasanya
salafiyah adalah sebuah aliran baru yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab atau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang
‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada dengan berbagai aksi penghancuran dan
pengkafiran yang membabi buta. Sehingga apabila mereka mendengar istilah
salafiyah maka yang tergambar di benak mereka adalah kaum Wahabi yang suka
mengacaukan ketentraman umat dengan berbagai aksi penyerangan dan
tindakan-tindakan tidak sopan. Atau ada lagi yang menganggap bahwa salafiyah
adalah gerakan reformasi dakwah yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani
bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan Inggris di Mesir. Padahal ini semua
menunjukkan bahwa mereka itu sebenarnya tidak paham tentang sejarah munculnya
istilah ini. Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan pernyataan
semacam ini atau yang turut menyebarkannya adalah orang yang tidak mengerti
sejarah kalimat ini menurut tinjauan makna, asal-usul dan perjalanan waktu yang
hakikatnya tersambung dengan para salafush shalih. Oleh karena itu sudah
menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu untuk mensifati setiap orang
yang mengikuti pemahaman sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam hal akidah
dan manhaj sebagai seorang salafi (pengikut Salaf). Lihatlah ucapan seorang
ahli sejarah Islam Al Hafizh Al Imam Adz Dzahabi di dalam kitabnya Siyar
A’laamin Nubalaa’ (16/457) ketika membawakan ucapan Al Hafizh Ad
Daruquthni, “Tidak ada yang lebih kubenci selain menekuni ilmu kalam/filsafat.”
Maka Adz Dzahabi pun mengatakan (dengan nada memuji, red), “Orang ini (Ad
Daruquthni) belum pernah terjun dalam ilmu kalam sama sekali begitu pula tidak
menceburkan dirinya dalam dunia perdebatan (yang tercela) dan beliau juga tidak
ikut meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan tetapi beliau adalah
seorang salafi.” (Limadza, hal. 34-35). Perlu kita ketahui bersama
bahwa Imam Ad Daruquthni yang disebut sebagai ‘salafi’ oleh Imam Adz Dzahabi di
atas hidup pada tahun 306-385 H. Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada tahun
661-728 H. Adapun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada tahun 1115-1206
H. Nah, pembaca bisa menyaksikan sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu. Apakah
Ibnu Taimiyah atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir sebelum Ad
Daruquthni sehingga beliau layak untuk disebut sebagai pengikut mereka berdua.
Apakah dengan penukilan semacam ini kita akan menafsirkan bahwa Imam Ad
Daruquthni adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab??
Jawablah wahai kaum yang berakal… Anak kelas 5 SD pun (bukan bermaksud
meremehkan, red) tahu kalau yang namanya pengikut itu adanya sesudah keberadaan
yang diikuti, bukan sebaliknya. Wallaahul musta’aan.
(dirangkum dari muslim.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar